MENGGENGGAM ADAT MESKI SEKEPAL TANGAN

Author: Moh Takdir Tembandjobu /

 

MENGGENGGAM ADAT MESKI SEKEPAL TANGAN

(Studi Antropologi Politik Masyarakat Adat Kaili)


          Tiga masalah yang berhubungan dengan masyarakat adat To (orang) Kaili ketika UU otonomi daerah tak lagi punya pengaruh terhadap kebudayaan mereka. Tiga masalah tersebut adalah bagaimana masyarakat adat Kaili menginternalisasikan dan mentransformasikan aspek-aspek kelembagaan budaya lokal untuk diperankan dalam kehidupan sehari-hari maupun organisasi kemasyarakatan yang ada? Bagaimana posisi dan peran lembaga adat menurut perspektif masyarakat adat dulu, kini, dan prospeknya kemudian? Dan bagaimana perspektif pemerintah daerah, organisasi non-Pemerintah (ornop/ormas), dan elite politik daerah mengenai urgensi revitalisasi budaya lokal dalam era desentralisasi?

          Masyarakat adat Kaili telah melakukan revitalisasi terhadap tradisi budaya mereka bersama dengan berbagai komponen, seperti DPRD, Pemerintah Daerah dan Pusat, LSM/Ornop, organisasi adat, individu-individu yang peduli, budayawan, sosiolog dan sebagainya. Mereka melepaskan kepentingan dan latar belakang profesi masing-masing lalu bergandengan tangan menjalankan titah leluhur yang berpatokan bahwa “adat itu meski hanya sekepal tangan, tetapi jika dibuka akan menyinari dunia”. Pemahaman ini membuat mereka yakin bahwa UU otonomi daerah tidak menjamin kebudayaan lokal akan hidup dengan layak. Masyarakat adat di daerah harus mengupayakan sendiri agar kebudayaannya bertahan, meski dengan segala kesulitan menghadang. Di sisi lain, negara dapat dikatakan terancam gagal melindungi masyarakat adat. Dan masyarakat adat Kaili sebenarnya telah membuktikan bahwa mereka masih bisa hidup meski tanpa bantuan negara.




PANGISANI

Author: Moh Takdir Tembandjobu / Label:



Pangisani (Bahasa Kaili Ledo), adalah Ilmu. Semua jenis Ilmu dinamakan Pangisani dalam Bahasa Kaili Ledo. Pangisani adalah merupakan suatu pegangan hidup pada masa masyarakat suku Kaili di zaman dahulu. Di zaman Suku Kaili sudah mengenal peradaban, maka saat itulah masyarakat memahami Adat atau dalam bahasa Kaili Ledo disebut Ada. Pangisani dan Ada, adalah dua hal yang tidak bisa terlepaskan dalam kehidupan sehari-hari.

Sebelum membahas lebih jauh tentang Pangisani, kita harus mengenal terlebih dahulu tentang Suku Kali.

SUKU KAILI

Suku Kaili adalah salah satu suku di Indonesia yang mendiami provinsi Sulawesi Tengah. Ada banyak versi cerita mengenai asal usul nama Kaili. Salah satunya adalah berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh subur di daerah ini, terutama di tepi sungai Palu dan teluk Palu. Menurut cerita daerah itu, di kampung Bangga ada sebuah pohon Kaili yang tumbuh menjulang tinggi yang banyak digunakan pelaut sebagai panduan dalam menentukan arah ke pelabuhan Banggai. Suku Kaili memiliki wilayah yang cukup luas, bahkan terbesar di Sulawesi Tengah. Dalam sejarah, suku ini dulunya adalah sekelompok orang yang turun dari dataran tinggi Sulawesi Tengah ke lembah-lembah sampai pesisir hingga membentuk komunitas yang besar. Jangkauan peradaban suku ini sangat luas, yang meliputi wilayah kabupaten Donggala, kabupaten Sigi, dan kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara gunung Gawalise, gunung Nokilalaki, Kulawi, dan gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi kabupaten Parigi-Moutong, kabupaten Tojo-Una Una, dan kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di teluk Tomini, yaitu Tinombo, Moutong, Parigi, Sausu, Ampana, Tojo, dan Una Una. Sedangkan di kabupaten Poso, mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli, dan pesisir pantai Poso.

Kepercayaan Suku Kaili

Suku Kaili merupakan salah satu suku tertua yang ada di Indonesia. Sebagaimana suku tertua, mayoritas masyarakat dalam suku ini menganut animisme yang percaya kepada benda-benda seperti batu, pohon besar, dsb.. Mereka juga percaya kepada dewa-dewa. Sebagian suku Kaili ada yang percaya kepada tuhan (Dewa) yang disebut Tomamuru (sang pencipta), Buriro (penyubur tanah), dan Tampilangi (penyembuhan). Namun, sejak agama Islam masuk dan tersebar di antara suku ini, perlahan mereka meninggalkan kepercayaan animisme dan beralih ke ajaran Islam. Salah satu orang yang berperan besar dalam mengajar dan menyebarkan ajaran Islam adalah keturunan raja Minangkabau, yaitu Abdul Raqi. Perkembangan Islam di suku Kaili sangat cepat sehingga dipastikan mayoritas suku Kaili menganut ajaran Islam.

Kehidupan Masyarakat

Pada zaman dahulu, lapisan sosial masyarakat suku Kaili terbagi menjadi beberapa golongan. Di antaranya golongan raja dan turunannya (madika), golongan bangsawan (to guru nukapa), golongan orang kebanyakan (to dea), dan golongan budak (batua). Selain itu, mereka juga memandang tinggi golongan sosial berdasarkan keberanian (katamang galaia), keahlian (kavalia), kekayaan (kasugia), kedudukan (kadudua), dan usia (tetua). Di dalam masyarakat ini terdapat tiga pola pemukiman adat, yakni Ngapa (pola pemukiman mengelompok padat), Boya (pengelompokan komunitas kecil menyebar), dan Sampoa (tempat berlabuhan). Upacara-upacara adat merupakan kekhasan yang dimiliki suku Kaili. Mata pencaharian utama suku Kaili adalah bercocok tanam di sawah maupun di ladang. Sementara itu, bagi mereka yang tinggal di pesisir, mata pencarian mereka adalah nelayan dan berdagang.

Sumber : https://www.sabda.org/publikasi/40hari/2014/10

Dalam pergaulan antar suku bangsa di Sulawesi bagian tengah setiap nama suku bangsa dilengkapi dengan prefiks (imbuhan diawal kata dasar) to yang berarti "orang". Sehingga orang Kaili disebut Tokaili atau To Kaili. Sub suku yang lain juga adalah Palu (To-ri-Palu), Biromaru, Dolo, Sigi, Pakuli, Bangga, Baluase, Sibalaya, Sidondo, Lindu, Banggakoro, Tamungkolowi, Baku, Kulawi, Tawaeli (Payapi), Susu, Balinggi, Dolago, Petimpe, Raranggonau dan Parigi.

Selain itu ada pula di antara kelompok-kelompok mereka yang digolongkan orang luar sebagai masyarakat "terasing", karena jarang sekali berhubungan dengan dunia luar. Sementara itu di kalangan berbagai sub-suku bangsa tersebut terjadi lagi penggolongan menurut wilayah pemukiman dan hubungan kekerabatan.

Bahasa Suku Kaili

Bahasa Kaili termasuk golongan "bahasa tak" atau bahasa ingkar. Bahasa Kaili terbagi pula ke dalam beberapa dialek, di samping adanya bahasa-bahasa sub-suku bangsa tertentu yang dianggap asing bagi sub-suku bangsa yang lain. Dialek-dialek itu antara lain dialek Kaili, dialek Tomini, dialek Dampelas, dialek Balaesang, dialek Pipikoro, Bolano, Patapa, dan lain-lain.

Sumber : https://suku-dunia.blogspot.com/2014/09/sejarah-suku-kaili.html

Setelah kita mengenal Suku Kaili dan peradabannya, selanjutkan kita bahasa mengenai Pangisani pada masyarakat Suku Kaili.

Pangisani juga sangat erat hubungannya dengan Kepercayaan atau Keyakinan. Indonesia memiliki keragaman budaya yang termasuk di dalamnya adalah aliran kepercayaan. Hal ini berbeda dengan agama yang telah resmi diakui. Untuk mengenalnya lebih lanjut, simak macam-macam kepercayaan di Indonesia yang masih diikuti hingga kini.

1. Kejawen (Jawa)

Kejawen merupakan aliran kepercayaan yang berasal dari suku Jawa. Kepercayaan ini memiliki konsep bahwa penganut tetap percaya dan teguh pada leluhur agar berkah bagi diri sendiri dan keluarga lainnya. Namun, masyarakat tetap menganut agama yang diyakini.

2. Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan, salah satu aliran kepercayaan di Indonesia yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Aliran kepercayaan ini dapat ditemui pada daerah Kanekes, Banten; Kampung Naga, Cirebon, dan Cigugur, Kuningan.

Konsep dari Sunda Wiwitan adalah pemujaan terhadap roh nenek moyang yang disakralkan. Selain itu, kepercayaan ini juga memiliki satu Tuhan yang disebut juga dengan Sang Hyang Kersa. Tradisi dalam kepercayaan ini juga dipengaruhi oleh unsur Hindu dan Islam.

3. Kaharingan

Kaharingan merupakan kepercayaan yang mulanya berkembang dari Kalimantan. Penganut kepercayaan ini sebagian besar berasal dari suku dayak yang telah ada sejak zaman dahulu.

Kaharingan diketahui memiliki kepercayaan terhadap adanya entitas yang sering disebut dengan Ranying. Sebutan tersebut sering disamakan dengan Tuhan. Secara tradisi, kepercayaan Kaharingan masih orisinil dan tidak dapat disamakan dengan agama lainnya.

4. Malim

Malim adalah kepercayaan di Indonesia yang juga menjadi agama asli dari tanah Batak. Pengikut kepercayaan ini dinamai dengan Parugamo Malim, atau bisa disingkat Parmalim.

Malim pada dasarnya memiliki kepercayaan bahwa Danau Toba dan Pulau Samosir adalah tempat yang suci. Selain itu, merkea juga memiliki Tuhan bernama Debata Mulajadi Na Bolon, atau yang Maha Awal dan Maha Besar.


Lalu apa hubungannya Pangisani dengan Keparcayaan ?

Pangisani sangat erat hubungannya dengan Kepercayaan atau Keyakinan. Pangisani dapat diartikan sebagai Pengetahuan (Bahasa Indonesia). Namun, pengertian Pangisani dalam pemahaman Suku Kaili adalah merupakan Ilmu yang luar biasa yang dimiliki oleh seseorang yang memiliki kemampuan lebih dari kelebihan yang dimiliki orang lain.

Pangisani dapat digolongkan sebagai Ilmu KanuraganIlmu kanuragan lekat dengan kehidupan masyakakat di tanah Kaili, yang pada masa itu sangat terkenal di zaman Tomalanggai dan Tomanuru. Pada zaman dahulu ilmu-ilmu ini banyak digunakan untuk membela diri. Dalam budaya Kaili, ilmu kanuragan melibatkan pengembangan kekuatan batin dan fisik untuk mencapai tingkat keterampilan yang luar biasa. Ilmu kanuragan diwariskan melalui lisan dan praktik spiritual. Ilmu ini sering kali dikaitkan dengan energi gaib dan mantra-mantra (gane-gane) kuno. Tentunya penerapan Pangisani (gol. Ilmu Kanuragan) sangat erat kaitannya dengan kepercayaan atau keyakinan. 

Secara tradisional ada beberapa ilmu kanuragan yang terkenal di tanah Kaili pada zaman dahulu yang terkenal ampuh.

1. Pangisani Mpelali.

Cara kerja Pangisani Mpelali adalah menyerap atau mematikan kesaktian lawan yang ingin menyerang atau berniat buruk. Sehingga langsung membuat lawan lumpuh dan roboh.

2. Pangisani Nakaba.

Pangisani Nakaba  bukanlah ilmu untuk menyerang lawan akan tetapi untuk menginginkan kehidupan yang kekal. Orang yang memiliki ilmu ini diyakini tidak mudah dikalahkan. Luka dapat pulih seketika, anggota badan yang terputus dapat menyatu sehingga mereka sulit untuk mati. Pangisani Nakaba adalah ilmu yang dapat memulihkan daya tahan tubuh. Siapa saja yang mengamalkan ilmu kanuragan ini maka akan memiliki kekebalan tingkat tinggi. Misalnya, tergores pisau sampai terbacok atau hingga diledakkan pun tidak akan membuat dirinya meninggal. Karena itu tingkat Pangisani Nakaba ini dinilai hampir sangat sempurna. Konon cerita ajian ini berasal dari jin dan makhluk jahat lainnya. Oleh sebab itu Pangisani Nakaba ini digolongkan sebagai ilmu hitam,

3. Pangisani Nosigavu

Pangisani Nosigavu, adalah ilmu yang mampu melenyapkan diri sehingga tidak terlihat oleh orang lain. Pangisani Nosigavu adalah jenis ilmu halimunan (Jawa), sering digunakan untuk menyerang lawan, menghindar dari kejaran lawan.

4. Pangisani Ntarabuka

Pangisani Ntarabuka adalah jenis ilmu yang sangat luar biasa. Ajian ini bila disalurkan lewat suara maka bentakkannya akan membuat tuli yang mendengarkan. Ketika ajian ini digunakan di tengah riuhnya peperangan, musuh langsung melarikan diri dan menyerah. Sedangkan jika disalurkan lewat telapak tangan, maka efeknya terasa seperti pukulan yang panas layaknya bara api.

5.  Pangisani Sando Ntamosanga

Pangisani Sando Ntamosanga adalah ilmu kanuragan yang sangat luar biasa, karena ilmu ini dipercaya mampu membunuh jin. Oleh karena itu, bagi seseorang yang mempunyai ajian ini sangat ditakuti oleh bangsa makhluk halus. Konon ilmu kanuragan ini banyak dipelajari oleh para pendekar untuk kedamaian. Sebab pada zaman dahulu banyak para pendekar yang menggunakan ilmu hitam untuk membuat kerusuhan. Selain itu ajian Pangisani Sando Ntamosanga ini bisa digunakan untuk mengobati orang yang terkena pengaruh ilmu gaib, seperti guna-guna, sihir, santet dan yang lainnya.

6. Pangisani Mpombali.

Pangisani Mbombali dikenal sebagai ilmu olah spiritual tingkat tinggi, yang bisa dimiliki kali-laki maupun perempuan, bahkan anak-anak. Namun tidak sedikit masyarakat yang mempunyai pemahaman bahwa ilmu Mpombali  merupakan golongan ilmu aliran kiri dan memiliki konotasi buruk. Penampakan mahluk jadi-jadian (mboa, kalomba dll) diyakini dalam berbagai bentuk menyerupai semua benda ataupun hewan, termasuk seperti nyala api yang berjalan mengambang pada malam hari. Namun uniknya meskipun ilmu yang di gunakan leluhur itu masih ada sampai sekarang, tapi para Pengguna yang mempunyai ilmu ini lebih memilih merahasiakan pada orang lain bahkan anak istri atau suaminya.

7. Pangisani Nggaraka

Ilmu ini merupakan salah satu ajian ilmu kanuragan yang biasa digunakan orang zaman dulu untuk melawan musuh saat berperang. Ilmu ini juga dipercaya sebagai ilmu tingkat tinggi dalam ilmu kanuragan. Konon, orang yang memiliki ilmu kanuragan ini mampu melayangkan pukulan yang sangat dahsyat. Bahkan saking luar biasanya, ajian ini bisa menghancurkan besi atau baja. Oleh karena itu orang yang memiliki ajaran Pangisani Nggaraka harus seseorang memiliki tingkat kesabaran yang tinggi dan mampu mengontrol emosi jiwa.

8. Pangisani Ntamalove.

Ajian ini adalah ilmu kanuragan yang sering digunakan oleh para Tomalanggai atau para wali pada masa lalu. Adapun tujuannya adalah untuk menyebarkan agama /kepercayaan, agar mudah berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Ilmu ini diyakini mampu meringankan tubuh seseorang yang mengamalkannya, hingga berlari dengan sangat cepat seperti angin bahkan di atas air sekalipun. Menurut para praktisi spiritual ilmu kanuragan ini masih ada sampai saat ini. Hanya saja syarat untuk mendapatkan Pangisani Ntamalove sangatlah sulit.

9. Pangisani Doti.

Pangisani Doti (Nedoti) bukanlah ilmu untuk menyerang lawan di medan pertempuran, akan tetapi untuk menginginkan mengakhiri kehidupan lawan atau orang lain dengan kekuatan mantra-mantra (gane-gane). Orang yang memiliki ilmu ini diyakini tidak mudah dikalahkan, sehingga mereka sulit untuk mati. Pangisani Doti adalah ilmu yang dapat melemahkan dan menghancurkan daya tahan tubuh. Siapa saja yang mengamalkan ilmu ini maka akan memiliki pantangan tingkat tinggi. Ilmu Doti banyak macamnya, ada hanya membuat orang lain menderita berkepanjangan dengan penyakit yang dirasakannya. Apa pula membuat orang lain menderita tiada ampun hingga mengakibatkan kematian. Ilmu Doti termasuk Ilmu Hitam dan masuk golongan Ilmu Sihir.

10. Pangisani Tamasi.

Pangisani Tamasi adalah ilmu yang sering digunakan untuk menangkal atau mencegah suatu tindakan atau perbuatan orang lain atas dirinya. Sejahat apapun orang dan sekejam apapun dirinya, bila bertemu dengan orang yang memiliki ilmu Tamasi, pasti kemarahannya akan sirna, berubah menjadi perasaan kasihan yang tak terhingga bila menjumpai seseorang yang punya ilmu Tamasi. Ilmu Tamasi biasanya diterima seseorang dari orang lain melalui proses ijab kabul (serah terima) dari seorang yang disebut Guru. 

11. Dan masih banyak lainnya.  Ilmu ini termasuk ilmu Sihir ? Wallahu A’lam bish Shawaab.


          Pada zaman Tobaraka di kalangan suku Kaili, Pangisani lebih ditafsirkan sebagai ilmu spiritual yang dipelajari untuk melindungi diri dan biasanya dipelajari melalui tirakat yaitu di bawah bimbingan guru, sambil mengamalkan sejumlah tindakan tertentu.

Sejarah tarekat di Indonesia dimulai bersamaan dengan masuknya ajaran agama Islam ke bumi Nusantara. Kala itu, sebagian besar ulama yang datang ke Nusantara diyakini telah mengajarkan agama Islam dengan kapasitas mereka sebagai guru-guru sufi. Adapun tarekat diketahui kali pertama berkembang di Indonesia sekitar pada abad ke-16 Masehi.

Ada sekitar 45 tarekat yang berkembang di dunia. Sebagian besar tarekat masih ada hingga kini, tetapi ada juga beberapa yang telah punah. Adapun di Indonesia, tarekat dikelompokkan menjadi dua, yakni thariqah mu'tabarah (tarekat yang sah karena sanad muttashil atau memiliki silsilah yang terhubung hingga kepada Nabi Muhammad) dan thariqah ghairu mu'tabarah (tidak sah karena silsilahnya terputus).

Aliran-aliran tarekat yang berkembang di bumi Nusantara kala itu meliputi Tarekat Qadiriyyah, Tarekat Syatariyyah, Tarekat Naqsabandiyyah, Tarekat Khalwatiyah, Tarekat Samaniyah, hingga Tarekat Alawiyah.

Lahirnya tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, dua tarekat yang disatukan oleh Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasy dari berbagai pengaruh budaya yang mencoba memasuki relung hati bangsa Indonesia, kiranya Islam sebagai agama wahyu berhasil memberikan bentukan jati diri yang mendasar. Islam berhasil tetap eksis di tengah keberadaan dan dapat dijadikan symbol kesatuan. Berbagai agama lainnya hanya mendapatkan tempat disebagian kecil rakyat Indonesia. Keberadaan Islam di hati rakyat Indonesia dihantarkan dengan penuh kelembutan oleh para sufi melalui kelembagaan tarekatnya, yang diterima oleh rakyat sebagai ajaran baru yang sejalan dengan tuntutan nuraninya.

 


Bersambung  ......


Ikat Kepala SIGA

Author: Moh Takdir Tembandjobu /

          
          Menurut Kakek Lahasa (Tomaitawiya), diceritakannya kepada puteranya Abdullah (Tomaiyaro), kemudian diceritakan Abdullah (Tomaiyaro) kepada kami, bahwa sejak beliau berhenti jadi Totua nu Ngata (Kepala Kampung) Kalukubula, beliau diangkat sebagai  Totua nu Ada. Beliau bertugas sebagai Totua nu Ada yang ditunjuk oleh Magau Dolo Datupamusu, meskipun tinggalnya di Kalukubula yang waktu itu menjadi Wilayah Magau Sigi Biromaru.

Beliau menceritakan, bahwa Siga adalah pengikat kepala, bukan hanya sekedar sebagai penutup kepala seperti Toru, atau penutup kepala lain, yang saat itu wajib dikenakan oleh semua Totua nu Ada, maupun Totua nu Ngata. Tidak ada pengecualian untuk penggunaan Siga, karena sangat tergantung pada kesiapan yang ada. Tidak ada penjelasan mengenai warna, dan jenis apapun kain yang digunakan untuk mengikat kepala, bahkan waktu itu masih ada juga yang menggunakan kain dari Kulit Kayu. Semua yang digunakan untuk mengikat kepala, itulah yang disebut Siga, Dan adapula dari Ngata/Boya/Soki (Kampung) lain yang menyebutnya Higa, dll.

Tidak ada larangan bagi Masyarakat Adat lainnya yang menggunakan Siga, tergantung dari kesiapan dan persiapan dari warga itu sendiri. Hanya saya pada waktu itu tidak seorangpun yang berani memakai Siga yang sama persis seperti Magau. Bukan karena adanya larangan, atau ancaman sanksi Givu, tetapi adalah bentuk penghargaan dan penghormatan warga kepada sang Magau.

Dahulu juga kalangan bangsawan maupun masyarakat biasa (masyarakat adat) sangat sulit mendapatkan kain tenun, sehingga digunakan pada waktu itu kain dibuat dari kulit kayu. Ukuran yang digunakan sebagai Siga belum beraturan, sehingga bentuknya sangat berbeda-beda.

Dalam sejarah, sekitar abad ke-7 di Kerajaan Swiwijaya, masyarakat sudah banyak menggunakan kain tenun sebagai ikat kepala. Ukurannya kecil hanya sebesar sapu tangan, atau dalam bahasa Kaili Ledo disebut Pasapu (Sapu tangan). Pasapu mulai digunakan sebagai pengikat kepala yang disebut Siga. Pasapu mulai dikenal dalam keadatan Kaili, namun sebenarnya itu kemungkinan kesamaan penggunaan kata dengan masyarakat adat di kerajaan Gowa, yang menyebutnya itu sebagai Passapu.

Hadirnya jenis penutup kepala ini tidak terlepas dari budaya Melayu yakni Sumatera, Padang, dan Malaysia. Meski begitu masing-masing daerah memiliki ciri khas dan penamaan tersendiri.

Jadi ada pengaruh makanya kalau kita lihat sekarang orang-orang Melayu, Sumatera, Padang, Malaysia, dan sebagainya ada yang menggunakan penutup kepala yang lancip," 

Passapu mulai dikenakan pada masa Kerajaan Gowa yang ke-10. Saat itu Kerajaan Gowa dipimpin oleh Raja I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng.







IKAT KEPALA  "SIGA"
Bahan             : Kain
Jenis               : Etnografi
No.Inventaris : 23522
Lembaga        : Musium Nasional Indonesia

       Tak lengkap rasanya bagi lelaki Sulawesi Tengah menghadiri upacara adat bila tanpa menggunakan Siga. Selain menambah kepercayaan diri, ikat kepala yang terbuat dari kulit kayu ini juga menjadi simbol kebesaran dan penanda badi mereka yang dianggap mampu mengayomi orang-orang disekitarnya. Bagi masyarakat adat suku Kaili, Kabupaten Donggala, Siga bukan cuman sekedar kain yang diikat di kepala, tetapi juga sebagai penanda status sosial penggunanya. Siga yang berwarna kuning dengan lipatan kedepan biasanya digunakan Totua Adat, warna biru dengan  lipatan ke kanan dan ke kiri dikhususkan untuk para pejabat. Sementara warna merah dengan lipatan kebelakang dikhususkan bagi kalangan masyarakat biasa.
     Ikat kepala Siga biasanya diberi motif-motif geometris. Tak lupa dilengkapi dengan hiasan sula ngkabaja, yaitu sulaman benang,yaitu sulaman benang keemasan atau perak yang dipercaya sebagai simbol suami yang sayang anak dan isterinya. Meskipun tidak lagi digunakan dalam busana sehari-hari, masyarakat dan Pemerintah Sulawesi Tengah masih menjadikan filosofi SIGA sebagai pegangan dalam kehidupan  serta landasan budaya kerja di daerahnya.

Sumber : DISINI